artikel tersebut di publish di link di pojoksamber.com
Siapa sangka Badan Perencanaan dan Pembanguan Daerah (BAPPEDA) Kota Metro menggandeng komunitas mengadakan lomba menulis “Metro Kota Hijau Layak Huni”. Mungkinkah perspektif pemerintah (BAPPEDA) agar terlihat dekat dengan warga atau perlawanan ego kekuasaan untuk mereparasi kota?
Meloncat sejenak ke Kota Bandung teringat kata Ridwan Kamil “kini bukan jamanya mengubah jaman sendiri. Kita perlu bersama sama, kita perlu berkolaborasi. Kolaborasi itu ibarat kunci pintu rumah yang bernama masyarakat madani”. Dalam hitungan tahunKang Emil, sapaan Ridwan Kamil mengubah Bandung yang sempat dilabeli Kota Sampah menjadi kota yang layak huni. Tentu dengan kolaborasi atau gotong royong menjadi kunci pintu masuk.
Sinergitas pemerintah dengan komunitas, media dan swasta adalah awal keberhasilan membangun Kota Bandung. Jika dibandingkan dengan Bandung maupun Surabaya, Kota Metro memang terhitung usia muda baru beranjak 16 tahun. Sangat kontras jika dibandingkan secara usia.
Mimpi akan kota hijau penulis kira tak perlu menunggu dalam usia yang sama dengan bandung untuk menumbuhkan kota hijau. Penulis kira tak perlu menunggu justru dengan mengambil contoh daerah lain yang telah menerjemahkan kota hijau layak huni, misal Bandung dapat menjadi acuan awal.
Metro sebenarnya memiliki potensi dasar untuk bermertamorfis menjadi kota cerdas, hijau dan layak huni. Misal saja dengan index pembangunan manusia (IPM) tertinggi di Lampung dengan 77,30 dan belasan kampus yang ada menjadi modal iklim suprastruktur terbaik. Dengan jumlah populasi 153 517 (BPS, 2013) dan Luas wilayah hanya sekitar 45 KM, membuat kota ini seharusnya mudah untuk di bentuk.
Mimpi Bersama Membangun Metro green-city?
Menurut Gray (1996) bentuk bentuk ruang terbuka hijau diklasifikasi sebagai taman kota (city park), lapangan terbuka/bermain (public square), halaman gedung atau pekarangan (ground of city building), pemakaman dan monumen, jalur hijau dan media jalan. Bahkan Lovelay (1996) menambahkan sektor pertanian termasuk kedalam ruang terbuka hijau.
Di Metro, dengan bermunculan taman baru seperti Taman Trimurjo, Taman Ki Hajar. Dewantara dan Taman Yosomulyo, ikhtiar pemerintah menumbuhkan kota hijau mulai nampak. Namun apakah cukup membangun infrastruktur? Seperti kata Stephan Becsei (2013), “Green” does not just mean planting trees and shrubs but the requirement of overall concepts that support the improvement of city centers. Tidak hanya sekedar memperhijau lebih dari itu aspek diluar juga mempengaruhi termasuk iklim orang.
Setahun ini penulis telah mengamati banyak momentum yang dilakukan warga membangun kreatifitas dan menampilkan karya di ruang hijau. Misal event #SayangiMetro, Carrity Photography, Tribute to Lukman dan terakhir ini penulis mencatat #MetroRevival yang banyak menggunakan ruang terbuka hijau. Dan tentu masih terdapat kegiatan yang sifat nya non-formil yang belum sempat penulis catat didalam artikel ini. Tetapin tulisan ini akan fokus terhadap kemunculan komunitas-komunitas yang ada di Metro dengan memanfaatkan ruang publik.
Kehadiran komunitas menyelenggarakan kegiatan di ruang terbuka saat di Rusunawa, Taman Ki Hajar Dewantara atau ruang terbuka lainnya secara tidak sadar mengedukasi warga untuk beralih dari private sector sebagai tempat berkumpul. Kesadaran komunitas dengan mengadakan event yang berkelanjutan di ruang publik sangat lah membantu menstimulan warga untuk terlibat didalamnya.
Dengan begitu Pemerintah tidak repot lagi menumbuhkan iklim-iklim orang. Dan akhirnya mengandeng komunitas untuk meramaikan ruang hijau menjadi urgen dilaksanakan. Misal, dengan lomba atau pameran yang dilaksanakan diruang terbuka hijau dapat sekaligus mengedukasi warga untuk tetap menjaga lingkungan. Secara otomatis demi kenyaman menggunakan ruang hijau, warga akan sadar tentang menjaga lingkungan.
Kemudian lingkungan akademisi (kampus) yang memiliki peran intelektual melalui penelitian-penelitian ilmiah seharusnya mulai disadarkan untuk berkolaborasi. Pemerintah dengan menggandeng perguruan tinggi yang ada dapat melahirkan penelitian-penelian baru tentang kota.
Tentu kolaborasi yang dibentuk memang harus memegang teguh kepercayaan terhadap SDM lokal dan mulai mengendorkan ketergantungan dari luar. Ketergantungan yang besar terhadap dunia luar juga dapat memperparah keadaan.
Setelah memberdayakan iklim-iklim orang, kolaborasi dengan media harus dijalankan. Dengan adanya media sosial ataupun online saat ini dapat dimanfaatkan sebagai media promosi kota yang relative murah dan kekinian. Menggunakan media sosial untuk berkampanye contohnya #MondayBike, #SaveTaman. Baru kemudian menggandeng pihak swasta turut gotong-royong memberikan CSR-nya untuk fasilitas-fasilitas di ruang terbuka hijau. Dan bukan lagi baliho baliho yang merusak ruang hijau.
Akhirnya, Dengan atau tanpa pemerintah kemandirian yang dibangun komunitas-komunitas mengedukasi warga tentang fungsi ruang public, penulis kira akan terus berjalan. Namun seperti bagian organ tubuh, satu tidak berfungsi maka organ lainya turut berpengaruh.
Kemudian keberlanjutan pilot project “Metro Kota Hijau Layak Huni” tergantung kepada sikap pemerintah, Pilihan gaya lama birokrat yang bekerja secara sendiri, ataupun yang penulis sebutkan diawal hanya ingin dilihat dekat dengan warga namun sebenarnya tetap melanjutkan tradisi birokrat, maupun alternatif lain yang keluar dari mainstream demi perbaikan sistem kepemerintahan dengan berkolaborasi bersama-sama warga, merupakan pilihan yang harus dipilih kedepan.
Penulis menutup artikel ini dengan meminjam kalimat Moh. Hatta, bahwa karna gotong royong adalah landasan historis terbentuknya negeri ini. Maka dengan gotong royong pula Metro dapat menjadi kota hijau yang layak huni.
0 komentar :
Post a Comment