Membangun
Intelektual Kollektif dan Kecerdasan Ekologis: Upaya
meminimalisir
Degredasi Lingkungan di Indonesia
Diyan
Ahmad Saputra
Badko
HMI Sumbagsel
Abstract
This
article was written to describe the need for a social movement in reducing
environmental degredation in Indonesia. Looking at the Indonesian environment
situation in 2016, into the worst category based Environtment Performer Index
(EPI). Using a qualitative approach , this article shows the emergence of a
collective intellectual movement as a theory that goes down in the practical
realm of being a new alternative to improving developmental alignment and
environmental improvement. The collective intellectual is a citizen awareness
movement by embracing all the joints of other societies to mutual awareness of gotong royong. Supported by the quality
of human resources with ecological intelligence through environmental education
in each individual can strengthen and improve the environment as a whole.
Abstrak
Artikel
ini ditulis untuk memaparkan perlu adanya gerakan sosial dalam mengurangi
degredasi lingkungan di Indonesia. Melihat
situasi lingkungan Indonesia tahun 2016, masuk kedalam kategori terburuk
berdasakan Environtment Performer Index (EPI).
Dengan menggunakan pendekatan kualitatif pustaka, artikel ini
menunjukkan bahwa kemunculan gerakan intelektual kollektif sebagai teori yang turun
dalam ranah praktik menjadi alternatif baru meningkatkan keselarasan
pembangunan dan perbaikan lingkungan. Intelektual kollektif merupakan gerakan
kesadaran warga dengan merangkul seluruh sendi-sendi masyarakat lainya untuk
saling sadar akan pentingnya memperbaiki secara gotong royong. Ditopang
kualitas SDM dengan kecerdasaan ekologis melalui pendidikan lingkungan hidup di
masing-masing individu dapat memperkuat dan memperbaiki degradasi lingkungan
secara kollektif.
Keyword: Intelktual Kollektif,
Kecerdasan Ekologis, Degredasi Lingkungan
Membangun
Intelektual Kollektif dan Kecerdasan Ekologis: Upaya
Meminimalisir
Degredasi Lingkungan di Indonesia
Pendahuluan
Kualitas
hidup manusia di planet bumi tidak lepas dari kualitas lingkungan hidupnya.
Peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan penduduk dilakukan dengan
menyediakan berbagai pilihan bagi masyarakat untuk memperoleh tingkat
kesejahteraannya melalui pengelolaan sumber-sumber daya alam, atau sumber daya
buatan dengan sentuhan teknologi yang tetap memperhatikan dampaknya terhadap
lingkungan. Aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan
social-ekonomi harus didukung oleh ketersediaan sumber daya alam yang
memadai.
Mahluk
hidup lain memiliki hak hidup seperti manusia, karena itu manusia perlu
menghargai dan memandang mahluk hidup lain sebagai bagian dari komunitas hidup
manusia. Semua species hidup memiliki hubungan dan saling terkait satu sama
lain membentuk komunitas biotik. Dalam komunitas ini, termasuk manusia
berinteraksi dengan unsur-unsur lingkungan fisik membentuk suatu sistem ekologi
yang disebut ekosistem. Di dalam ekosistem terdapat unsur-unsur biotik dan
lingkungan fisik (abiotik) yang membentuk fungsi sebagai sumberdaya alam.
Gangguan fungsi atau kerusakan satu atau beberapa unsur dalam sistem ekologi
akan memberi dampak terhadap fungsi subsistem lain.
Dari
pengertian ini, maka kajian ekologi berpusat pada manusia dan alam sebagai
suatu sistem (ekosistem) yang membentuk suatu jaringan kehidupan. Posisi
manusia dalam hal ini tidak mengabaikan peran mahluk hidup lainnya, juga tidak
memandang manusia berada di luar sistem, tetapi ini berarti bahwa manusia
beserta perilakunya adalah bagian dari suatu ekosistem. Untuk tetap
mempertahankan sistem ekologi guna mencapai keseimbangan hubungan ini, maka
kondisi yang mutlak diperlukan adalah adanya keserasian hubungan antara manusia
dengan lingkungan hidupnya.
Upaya
memenuhi kebutuhan hidup manusia menyebabkan perubahan atas unsur atau
komponen-komponen lingkungan hidup beserta sumberdaya alamnya. Perubahan ini
berdampak balik pada kehidupan manusia, baik dampak negative maupun pengaruh
positif.
Revelle menambahkan terdapat dua faktor besar yang
menyebabkan krisis ekologis saat ini, yaitu; pemanfaatan sumberdaya alam yang
melampaui kapasitas tumbuh, dan rendahnya kualitas sumber daya manusia yang
terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungannya.
Begitupun
yang terjadi di Indonesia, Budi Hermana (2012) menyatakan kerusakan lingkungan
yang terjadi kian memburuk dan merosot jauh dari posisi ke 74 (Rank EPI modest
performer atau biasa-biasa saja) berdasarkan data EPI tahun 2012 oleh Yale
University menuju ke posisi rank
terburuk 112 dari 178 negara berdasarkan data EPI tahun 2014 oleh Yale
University.
Berdasarkan
indikator tersebut, beberapa poin mengalami peningkatan dalam 10 tahun
terakhir. Namun secara keseluruhan lingkungan Indonesia masih memperihatinkan
terutama dalam kasus tentang lingkungan Air, pertanian, perikanan, Hutan.
Oleh
karena itu, praxis menyelamatkan lingkungan di Indonesia masih perlu di tekan
dalam upaya membantu daya lenting alam. Sehingga adanya upaya tersebut dapat
menjadi alternatif menyelasarkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Pembahasan
Degredasi
lingkungan yang terjadi di Indonesia saat ini kian hari semakin
memperihatinkan. Dalam index perkembangan lingkungan (EPI) yang dirilis oleh
Yale Univesity dalam kuarsa 2 tahun terakhir sejak tahun 2014 melonjak jauh
dari angka bumi layak huni, masuk dalam kategori negara terburuk ditinjau dalam
segi lingkungan. Dengan analasis mendalam baik ketersediaan dan keberlanjutan
keseimbangan alam menampakkan lampu merah. Begitupun dengan dampak yang
diakibatkan dari hal tersebut.
Jauh
sebelum itu, tahun 1962, Rachel Carson dalam Silent Spring telah mengingatkan kepada gejala degradasi
lingkungan. Hewan-hewan ternak terserang penyakit dan mati. Petani merasakan
ancaman kematian di keluarganya. Dokter kebingungan menghadapi
penyakit-penyakit baru. Kematian yang tiba-tiba muncul dialamai diantara orang
dewasa dan anak-anak sewaktu bermain dan tiba-tiba meninggal. Gejala-gejala
aneh lainnya ikut menyusul beriringan. (Otto Soemarwoto, 2008)
Sejak
Rachel Carson menerbitkan buku tersebut barulah menjadi sebuah peringatan keras
yang dirasakan seluruh penghuni Bumi. Beberapa konfrensi dan perjanjian muncul
pasca negera merasa resah melihat keadaan lingkungan yang buruk berdampak
kepada warganya. Konferensi Stockhom (1972) menjadi langkah tegas
mempertimbangkan aspek pembangunan yang tak mengesampingkan Suistinable Development akan
mengakibatkan kerusakan lingkungan. Farvar dan Milton (1973) dalam seminar
lingkungan di Amerika tahun 1968 menyampaikan akan pembangunan yang menggunakan
teknologi yang tak peduli (The Careless
Technology), menjadi penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan hidup.
Begitupun dengan Commoner dan Gold Smith (1973) menekan untuk penggunaan teknologi
dalam skala luas bagi pembangunan akan menjadi tidak tolerir yang akhirnya
membawa manusia pada kehancuran. (Otto Soemarwoto, 1999)
Dalam
negara berkembang, termasuk Indonesia yang masih membutuhkan proses pembangunan
di sana-sini, secara tidak langsung telah mempersiapkan diri mengeksploitasi
alam. Keniscayaan proses pembangunan yang merenggut daya lenting lingkungan
menjadi titik krusial yang dialami. Namun tidak adanya pembangunan pula akan
memperpanjang riwayat kemiskinan rakyat. Sehingga muncul gagasan untuk
melaksanakn pembangunan dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan
hidup (suitanable development).
Prinsip
pembangunan berkelanjutan memiliki jiwa baru untuk menekan angka eksploitasi
yang tidak berimbang dengan daya lenting alam. Faktor sosial, ekonomi dan
lingkungan menempatkan pokok paradagima pembangunan berkelanjutan.
Fakta
dilapangan, pencegahan kerusakan lingkungan di Indonesia menggunakan ilmu
pengetahuan (AMDAL) telah muncul sejak tahun 1982 dengan munculnya UU no 4 pasal 16 tahun 1982 dan
pelaksanaannya mulai berlaku pada 05 juni 1987 ditandai adanya PP No. 29 tahun
1986. Hingga kini pengelolaan SDA dalam skala luas tidak mampu menjawab
keresahan Carson. Eksploitasi dan eksplorasi yang mengakibatkan kerusakan alam,
pembakaran hutan, limbah domestik, perburuan, dan sebagainya. Dapat dilihat
dari perbandingan EPI Indonesia di tahun 2012, 2014, dan 2016 (lihat EPI of
Indonesia, Yale University).
Untuk itu
beragam pendekatan demi menyelesaikan persolanan degradasi lingkungan sangat
dituntut. Tidak hanya menggunakan aspek saintifik dan teknologi, aspek lainya
seperti sosial-budaya pun menjadi komponen utama lainya sebagai jalan
alternatif. (Otto, 1999)
Intelektual Kollektif:
Sebuah Gagasan Kesadaran Akan Kerja Kollektif
Piere Bourdieu, filsuf Prancis memeperkenalkan yang
umum disebut Intellectual collective. Gagasan
ini muncul seiring didirikannya penerbitan Liber:
Reveu europénne des livre dan dokumentasi Raison d’ Agir di awal tahun 1999. Intelektual kolektif
dalam teori bourdian dimana Strukturalisme Genetik dalam teori sosial
dirumuskan Bourdieu dengan 3 hal yaitu (Habitus x Modal) + Arena = Praktik.
Habitus[1] dalam penjelasanya adalah sebagai struktur mental atau kognitif yang
dengannya orang berhubungan dengan dunia sosial. Orang
dibekali dengan serangkaian skema terinternalisasi yang mereka gunakan untuk
mempersepsi, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial. Melalui
skema ini, orang menghasilkan praktik mereka, mempersepsi dan mengevaluasi-nya.
Secara dialektif, habitus adalah “produk dari internalisasi struktur” dunia
sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari ditempatinya posisi di dunia
sosial dalam waktu yang panjang.[2]
(Ritzer, George dan Goodman, Douglas J., 2010).
B. Hery
Priyono (Oki, 2013),[3]
habitus yang dimaksud Bourdieu dijelaskan sebagai:
“Acquired
generative schemes that make possible the endless reproduction of thoughts,
perceptions and actions; a product of history, produces individual and
collective practices. in accordance with the schemes generated by history. It
ensures the active presence of past experiences, which, deposited in each
organism in the form of schemes of perception, thought, and action, tend to
guarantee the “correctness” of practices and their constancy over time, more
reliably than all formal rules and explicit norms”.
Berdasarkan
penjelasan diatas, Habitus yang digunakan sebagai skema generatif ialah rangka
produksi persepsi, pemikiran, tindakan, dan pengalaman. Lewat konsep habitus
ini hal yang ingin diperlihatkan adalah beberapa asumsi dasar dari habitus yang
bersinggungan dengan problematic kekuasaan. Melalui langkah seperti ini,
tersirat pula topik diskusi lain yang menjadi sasaran keseluruhan ide tulisan,
yaitu transformasi.
Kleden[4] (2005) menarik tujuh elemen penting tentang habitus
ini yakni: (1) produk sejarah, sebagai perangkat disposisi yang bertahan lama
dan diperoleh melalui latihan berulang kali (inculcation); (2) lahir
dari kondisi sosial tertentu dan karena itu menjadi struktur yang sudah diberi
bentuk terlebih dahulu oleh kondisi sosial di mana dia diproduksikan. Dengan
kata lain, ia merupakan struktur yang distrukturkan (structured -structures);
(3) disposisi yang terstruktur ini sekaligus berfungsi sebagai kerangka yang
melahirkan dan memberi bentuk kepada persepsi, representasi, dan tin-dakan
seseorang dan karena itu menjadi structuring structures (struktur yang
menstrukturkan); (4) sekalipun habitus lahir dalam kondisi sosial tertentu, dia
bisa dialihkan ke kondisi sosial yang lain dan karena itu bersifat transposable;
(5) besifat pra-sadar (preconcious) karena ia tidak merupakan hasil
dari refleksi atau pertimbangan rasional. Dia lebih merupa-kan spontanitas yang
tidak disadari dan tak dikehendaki dengan sengaja, tetapi juga bukanlah suatu
gerakan mekanistis yang tanpa latar belakang sejarah sama sekali; (6) bersifat
teratur dan berpola, tetapi bukan merupakan ketundukan ke-pada
peraturan-peraturan tertentu. Habi-tus tidak hanya merupakan a state of
mind, tetapi juga a state of body dan bahkan menjadi the site of
incorporated history; (7) habitus dapat terarah kepada tujuan dan hasil
tindakan tertentu, tetapi tanpa ada maksud secara sadar untuk mencapai
hasil-hasil tersebut dan juga tanpa penguasaan kepandaian yang bersifat khusus
untuk mencapainya.
Arena
atau Ranah (field) berdasarkan pandangan Bourdieu lebih bersifat
relasional daripada struktural. Field bukanlah interaksi atau ikatan
lingkungan bukan pula intersubyektif antar individu. Penghuni posisi mungkin
agen individual atau lembaga, dan penghuni posisi ini dikendalikan oleh
struktur lingkungan.[5]
Ritzer
dan Goodman,[6]
menerangkan bahwa Bourdieu menjelaskan ada tiga langkah proses untuk
menganalisis ranah, yaitu: pertama, menggambarkan keutamaan ranah
(lingkungan) kekuasaan (politik) untuk menemukan hubungan setiap lingkungan
khusus dengan ling-kungan politik; kedua, menggambarkan struktur
objektif hubungan antar ber-bagai posisi di dalam ranah tertentu; ketiga, dan analisis harus mencoba
menentukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di
dalam ranah. (M. Adib, 2011)
Bourdieu
menolak untuk memisahkan antara metodologi individualis dan metodologi
menyeluruh, dan menerima pendirian yang akhir-akhir ini disebut ”relasionisme
metodologis”. Hubungan ini berperan dalam dua cara. Di satu pihak, ranah
mengkondisikan habitus; di pihak lain, habitus menyusun ranah, sebagai sesuatu
yang bermakna, yang mempunyai arti dan nilai.
Hubungan
relasional yakni struktur objektif dan representasi subjektif, agen dan
pelaku, terjalin secara dialektik, saling mempengaruhi, tidak saling menafikan,
tapi saling bertaut dalam sebuah social practice (praktik sosial),
antara lain; (1) modal ekonomi yang
mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, dan buruh), materi (pendapatan dan
benda-benda), dan uang; (2) modal budaya (keseluruhan kualifikasi intelektual
yang bisa diproduksi melalui pendidikan for-mal maupun warisan keluarga); (3)
modal sosial atau jaringan sosial; (4) modal simbolik (segala bentuk prestise,
status, otoritas dan legitimasi yang terakumulasi sebagai bentuk).
Praktik
sosial berdasarkan teori borudie, modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan
spesifik yang beroperasi dalam ranah dan setiap ranah menuntut individu untuk
memiliki modal khusus agar dapat hidup secara proporsional dan bertahan di
dalamnya.
Dalam
ranah pertarungan sosial akan selalu terjadi. Mereka yang memiliki
modal dan habitus yang sama dengan kebanyakan individu akan lebih
mampu melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah struktur dibandingkan
dengan mereka yang tidak memiliki modal. [7]
Intelektual,
dan masyarakat mengalami pertautan karena didasarkan pada logika politik dan
keilmuwan pada masa terbentuknya istilah intelektual, yaitu pada kasus Dreyfus
di Prancis. Pada masa itu “intelektual” lahir dari kelas-kelas sosialyang
melakukan tuntutan terhadap ketidakadilan yang dilakukan negara. Negara,sejak
terbentuknya, memiliki karakter khas berupa dominasi. Pada fase negarayang
sudah merdeka, dominasi itu berlanjut kepada masyarakat. Kaum intelektuallahir
seiring dengan tumbuh dan berkembangnya masyarakat yang meratapidominasi
negara. Kaum intelektual tidak hanya merupakan ilmuwan yang berkutatpada
eksperimen dan teori, melainkan suatu bentuk pergerakan yang didasari atascara
berpikir ilmiah dan logika ketidakadilan yang menimpa masyarakat akibatdominasi
negara. Namun, tidak jarang, seiring perkembangan zaman dan ekonomi wacana mengenai
intelektual bersanding dengan teori Julien Benda mengenai pengkhianatan
intelektual.
Intelektual
kolektif adalah penerjemahan pemikiran Bourdieu.Intelektual kolektif lahir dari
berbagai macam teori yang Bourdieu kembangkan yaitu habitus, arena,
dan modal. Ketiga elemen tersebut menjadi rumusan generatif terbentuknya
seorang intelektual, dan menjadi elemen penting memahami “bagaimana cara
ilmuwan melawan segala bentuk ketidakadilan,”.Tetapi, upaya Bourdieu perihal
intelektual kolektif terhalang tembok strata yang dihasilkan oleh
komunitas ilmiah. Hal tersebut karena komunitas ilmiah, tanpa disadari membangun
struktur-struktur berdasarkan pada aturan yang mereka buat sendiri.
Pada dasarnya, intelektual kollektif menjelaskan
bagaimana praktikal sebuah teori dengan bekerjasama secara kollektif. Kerja
kollektif tanpa membedakan skill dan strata sosial tersebut yang meneyebabkan
pembahasan praktikal ini menjadi menarik. Sehingga kerja kollektif ini
diasumsikan sebagai bagian kerja bakti yang mempergunakan modal dan habitus
yang ada.
Konsep habitus, arena, dan modal ini
merupakan rumusan generatif dari teori Bourdieu tentang bagaimana praktik sosial
berjalan. Habitus merupakan hasilketerampilan yang menjadi tindakan praktis
(tidak selalu disadari) yang diterjemahkanmenjadi kemampuan yang terlihat
alamiah. Sebagai hasil dari ketrampilan individuyang menubuh, habitus tidaklah
seragam karena ia beroperasi dalam suatu ruangsosial atau arena tertentu yang
kemudian mempengaruhi rutinitas tindakannya.[8]
(Haryatmoko, 2008)
Arena merupakan ruang yang terstruktur dengan
aturan keberfungsiannya yang khas namuntidak secara kaku terpisah dari
arena-arena lainnya dalam sebuah dunia sosial. Arenamembentuk habitus yang
sesuai dengan struktur dan cara kerjanya, namun habitus juga membentuk dan
mengubah arena sesuai dengan strukturnya. Arizal menekankan Otonomisasi relatif
arena ini mensyaratkan agen yang menempati berbagai posisi yang tersedia
dalamarena apapun, terlibat dalam usaha perjuangan memperebutkan sumber daya
atau modal
yang diperlukan guna memperoleh akses terhadap kekuasaan dan memperoleh
posisinya dalam arena tersebut.[9]
Dengan demikian kerja
kolektif telah menjadi topik pembahasan yang berkembang di Eropa. Lebih dari
sebagai kajian institusi riset dan diskursus. Pembahasan tersebut dibidani
sebagai refleksi atas kebutuhan menjawab persoalan bermasyarakat.
Gerakan
Kollektif di Indonesia
Beberapa kasus
sengketa lingkungan di Indonesia akhir-akhir ini mulai menunjukkan geliat
kerjasama masyarakt untuk saling mengingatkan akan pentingnya kerja kollektif
demi memperbaiki lingkungan. Sebut saja pembuatan pabrik semen dirembang,
reklamasi di Teluk Benoa Bali, Reklamasi teluk Jakarta. Warga setempat
melaksanakan geraka bersama.
Dalam Kasus reklamasi
Jakarta tidak lepas dari persoalan ekonomi. (Suryadewi, 1998) Sebagaiman sagala
aspek aktifitas manusia, sosial-budaya dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari akan
berkaitan dengan tindakan ekonomi. Reklamasi di Teluk Jakarta pun tak luput
dari pandangan ekonomi. Proses ekonomi
yang terjadi dalam kasus reklamasi Jakarta, dalam pandangan marx merupakan
mekanisme awal dimana proses kapitalisasi berlangsung. Dimana proses terjadinya
pemisahan sumber daya (produksi) dengan alat-alat produksi (manusia). (HMI
Jogja Raya, 2011). Akibat tindakan politisasi hukum dengan dimenangkannya
negara (Pemprov DKI) dalam banding tersebut (lihat, PT TUN Nomor:
228/B/2016/PT.TUN.JKT), mirip seperti peradaban Romawi dan Yunani kuno dalam
memproduksi perbudakan dengan menggunakan kekuasaan politik dan militer.
(Gérard Duménil dan Duncan Foley, 2015).
Sehingga masyarakat
Teluk Jakarta memberikan perlawanan untuk merebut hak-haknya. Nelayan bersama
Kiara dan LBH Jakarta dalam hal ini tidak hanya melawan dengan upaya hukum.
Perlawan moral pun dilaksanakan dalam mempertahankan hak nya. Akademisi,
Videografer, Sutradara, Aktor perfilman, Mahasiswa, komunitas dan sebagainya
melebur dalam memasifkan gerakan perlawan kepada negara.
Dalam Istilah Piere
Bourdieu, gerakan moral tersebut sering disebutkan sebagai gerakan intelektual
kolektif (Intellectual Collective), dimana segala elemen masyarakat tergerak
bekerja bersama-sama. Contoh tindakan tersebut seperti yang dilakukan oleh
Dhandy D Laksono, jurnalis AJI yang mempublish video dokumenter “Jakarta
Unfair”, yang telah banyak di diskursukan oleh pemerhati ketidak adilan.
Begitupun di Rembang dan Bali, masyarakat bahu membahu mengkampanyekan tolak
reklamasi melalui aksi sosial dan juga perlawanan melalui music.
Didalam pembahasan
artikel ilmiah Ayu Kusumastuti[10] dengan judul “Modal
Sosial dan Mekanisme Adaptasi Masyarakat Pedesaan dalam Pengelolaan dan
Pembangunan Insfrastruktur” yang mengambil studi kasus di lokasi desa Sidoasri
Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, mengangkat bagaimana tindakan
kolektif warga menjawab kebutuhan masyarakat.
Dengan memanfaatkan
masyarakat dan stakeholder setempat (modal sosial) dijadikan sebagai kekuatan
utama menselaraskan kebutuhan masyarakat dengan daya lenting lingkungan yang
ada. Hal ini seperti yang disebutkan Burt (1992) sebagai modal sosial, dimana
modal tersebut sebagai kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi
(berhubungan) satu sama lain sehingga menjadi kekuatan yang sangat penting,
bukan hanya terhadap aspek ekonomi, tetapi juga terhadap setiap aspek
eksistensi sosial yang lain
Modal sosial dalam
penelitian ini mengungkapkan bagaimana dapat mereduksikan dan membentuk sebuah
Kepercayaan, interaksi dan kerjasama didalam masyarakat. Dengan fokus
membangunkan kesadaran masyarakat untuk turut serta saling gotong royong
memperbaiki lingkungan dan infrastruktur.
Output dari membangun
kerja kollektif tersebut, Ayu Kusuma memaparkan kejadian sosial tersebut
menghasilkan lenting, fleksibilitas, dan stabilitas menanggapai kebutuhan dan
tindakan yang perlu dilakukan masyarakat terutama terkait infrastuktur air,
jalan, dan listrik.
Dengan demikian gerakan intelektual kollektif
di Indonesia telah menjadi warna baru alternatif gerakan untuk menyelmatkan SDA
dan lingkungan. Dalam skala luas, jika mampu diadaptasi dan adanya kesadaran
akan kerja kollektif dapat menjadi salah satu alternatif gerakan baru.
Membangun Kecerdasan Ekologis
Krisis ekologis
terkait pula dengan pandangan manusia terhadap realitas alam. Pandangan ini
membentuk perilaku manusia terhadap lingkungannya, baik perilaku yang berdampak
pada peningkatan keserasian hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya, maupun
sebaliknya. Manusia memiliki tanggung jawab terhadap alam dan mahluk hidup
lain, dengan mengedepankan prinsip-prinsip yang secara moral mengatur bagaimana
manusia mengelola atau menggunakan sumberdaya alam dan lingkungannya. Manusia
menjadi faktor yang berperan penting. Jika terdapat persoalan yang
mengakibatkan terganggunya hubungan antara manusia dengan lingkungannya, maka
posisi mahluk hidup lain akan tergantung pada persepsi dan perlakuan manusia.
Dalam hal ini, bagaimana manusia memposisikan dirinya terhadap alam sekitarnya
termasuk komponen mahluk hidup lainnya.
Mengatasi krisis
ekologi tidak semata soal teknis, tetapi perlu ditelusuri seluk-beluk spiritual
manusia, pandangan hidupnya, kesadarannya terhadap alam dan perilaku
ekologisnya yang tetap menjaga keseimbangan alam. Untuk itu diperlukan
kecerdasan ekologis (ecological intelligence) manusia, berupa pemahaman dan
penerjemahan hubungan manusia dengan seluruh unsur beserta mahluk hidup lain.
Manusia yang cerdas ekologis menempatkan dirinya sebagai control terhadap
lingkungannya (human as in control of the natural environment). Kecerdasan
ekologis sebagai empati dan kepedulian yang mendalam terhadap lingkungan
sekitar, serta cara berpikir kritis terhadap apa yang terjadi di lingkungan
sekitar akibat perlakuan kita. [11] (Jung, 2010)
Kecerdasan ekologis
menghendaki manusia untuk menerapkan apa yang dialaminya dan dipelajarinya
tentang hubungan aktivitas manusia dengan ekosistem. Kecerdasan ekologis
menempa manusia menata emosi, pikiran dan tindakannya dalam menyikapi jagat
raya. Kecerdasan ekologis dituangkan dalam bentuk sikap dan perilaku nyata yang
mempertimbangkan kapasitas ekologis, dan melahirkan sikap setia kawan manusia
dengan alam. Alam semesta bukan hanya sumber eksploatasi tetapi sebagai rumah
hidup bersama yang terus dilindungi, dirawat, ditata dan bukan dihancurkan. (Utina Ramli, 2012)
Di dalam kehidupan
manusia bermasyarakat telah tumbuh tradisi yang diwarisi secara turun temurun,
misalnya kerja bakti tiap minggu.Tradisi, kebiasaan atau perilaku tumbuh dan
berkembang sesuai dengan kedekatan manusia dengan alam sekitarnya dan tantangan
yang dihadapinya. Ini merupakan kearifan lokal yang mewarnai kehidupan
masyarakat. Kearifan lokal (local wisdom) dipandang sebagai tindakan dan sikap
manusia terhadap sesuatu objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang
tertentu. Substansi kearifan lokal adalah berlakunya nilai-nilai yang diyakini
kebenarannya oleh suatu masyarakat dan mewarnai perilaku hidup masyarakat
tersebut. Tindakan nyata, sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungan yang
mengandung nilai-nilai pelestarian ekosistem adalah bagian dari kecerdasan
ekologis suatu masyarakat.
Pendidikan Lingkungan
Hidup
Sejak tahun 1984
pemerintah telah menggalakkan pendidikan lingkungan hidup yang terintegrasi dalam
hampir semua mata pelajaran disekolah.[12] (Risda, et., 2011) Konsen pemerintah
terhadap pendidikan lingkungan hidup telah menjadi prioritas sejak awal, hingga
terbit nya UU No 32 Th. 2009 menegaskan pentingnya pendidikan lingkungan hidup
sejak dini.
NAAEE (2001)
menyatakan bahwa Pendidikan lingkungan adalah proses yang komprehensif untuk
menolong manusia memahami lingkungannya dan isu yang terkait.[13] Dengan begitu
manusia dapat paham dan memahami keadaan yang terjadi.
Lieberman dalam Risda
(2010) negaskan bahwa pendidikan lingkungan memiliki strategi sbb; 1)
memberikan pengalaman belajar hands-on melalui kegiatan berbasis proyek, 2)
mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan apresiasi terhadap lingkungan hidup.
Pendidikan lingkungan dapat dilaksanakan di luar kelas.[14]
Upaya pendidikan
lingkungan hidup tak lain untuk mengatsai problem lingkungan agar tidak semakin
akut. Dengan begitu langkah strategis haru ditempuh melalui proses pendidikan
berwawasan lingkungan.[15] Pendidikan asebagai
tempat yang paling efektif dengan menginternalisasi dan men-transformasi
keyakinan, nilai, pengetahun dan keterampilan. Menurut andrias harefa,
Pendidikan harus mampu merubah setiap jengkel dimenesi kehidupan seseorang.
Proses pembelajran sudah semesstinya memantu masyarakat pembelajar untuk
mengemangkan potensi intelektualitasnya.[16] (Maghfur Ahmad, 2010)
Kita semua memang
menginginkan keadaan lingkungan yang lestari, yaitu kondisi lingkungan yang
secara terus menerus dapat menjamin kesejahteraan hidup manusia dan juga mahluk
hidup lainnya. Untuk memelihara kelestarian lingkungan ini setiap pengelolaan
harus dilakukan secara bijaksana.
Pengelolaan yang
bijaksana menuntut adanya pengetahuan yang cukup tentang lingkungan dan akibat
yang dapat timbul karena gangguan manusia. Pengelolaan yang bijaksana juga
menuntut kesadaran akan tanggung jawab manusia terhadap kelangsungan generasi
mendatang. Pengetahuan dan kesadaran akan pengelolaan lingkungan ini dapat
diperoleh melalui pendidikan dan sejenisnya.
Apalagi jika
diperhatikan di Perancis pendidikan berbasis lingkungan (ekopedagodi) ini telah
dikembangkan sejak awal tahun 60-an. Menurut tim MKU PLH ekopedagogi adalah[17] : Alam jangan dipandang sebagai
lingkungan hidup (environment) semata tetapi sebagai ruang pemberi dan pemakna
kehidupan (lebenstraum). Pendidikan yang dapat mengubah paragidma ilmu dan
bersifat mekanistik, reduksionis, parsial dan bebas nilai menjadi ekologis,
holistik dan terikat nilai sehingga dapat tumbuh kearifan (wisdom), misalnya
dengan: membangun watak dan menghargai hak hidup mahluk hidup lainnya. Pendidikan lebih menekankan
pendekatan biosentrisme dan ekosentrisme, bukan lagi antroposentrisme.
Pendidikan untuk mengenali alam, sehingga tumbuh rasa cinta atau respek
terhadap alam beserta isinya.
Penutup
Persoalan
degredasi lingkungan telah menjadi perbincangan di setiap negara, termasuk di
Inodonsia. Selaras dengan pembangunan negara, kerusakan lingkungan akan setara
dan lebih parah jika tidak terkontrol. Penyelesaian dengan pendekatan saintifik
teknologipun tidak menjamin dapat menjadi kunci dalam pembangunan
berkelanjutan. Oleh karena itu, munculnya gerakan intelektual kollektif sebagai
teori turun dalam ranah praktik menjadi alternatif baru meningkatkan
keselarasan pembangunan dan perbaikan lingkungan. Intelektual kollektif
merupakan gerakan gerakan kesadaran dengan merangkul seluruh sendi-sendi
masyarakat untuk saling sadar akan pentingnya memperbaiki secara gotong royong.
Dengan ditopang kualitas SDM dengan kecerdasaan ekologis melalui pendidikan
lingkungan hidup di masing-masing individu sangat membantu.
Namun,
penulisan ini jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap perlu adanya penelitian
lebih lanjut terutama role model terstruktur pengorganisasian inttelktual
kollektif. Juga praxis penerapan kecerdasan ekologis dalam skala besar.
Implikasi
dari penulisan ilmiah ini diharapkan dapat menjadi acuan referensi baru dalam
gerakan sosial menyelesaikan persoalan lingkungan hidup di Indonesia. Sehingga
dapat membidani gerakan masif lainya yang tidak terpaku pada gerakan sturktural
(tergantung pada pemerintah), lebih kepada gerakan kultural yang lahir dari
kesadaran bersama.
Daftar Pustaka
Adib, Muhammad, 2011, Agen dan Struktur dalam
Pandangan Piere Bourdieu, BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2011.
Ahmad, Maghfur, 2011, Pendidikan
Lingkungan Hidup Dan Masa Depan Ekologi Manusia, Forum
Tarbiyah, vol. 8 No. 1.
Amini , Risda
dan A. Munandar, 2010, Pengaruh Model
Pembelajaran Pendidikan Lingkungan Berbasis Outdoor Terhadap Penguasaan Konsep Pendidikan Lingkungan Bagi
Calon Guru Sekolah Dasar, Jurnal
Penelitian Pendidikan, Vol. 11, No. 1.
Carson, Rachel,
2002. Silent spring. Boston :Houghton Mifflin,
Commoner, B.,1973, On the Meaning of Ecological
Failures in Internasional Development. Summary of the Conference and
Training Network dalam Soemarwoto,
Otto, 1999, Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan, Gajah Mada University Press.
Duménil, Gérard dan., Foley, Duncan, 2015, Analisis Marx Atas Produksi,
Yogyakarta,
Indoprogress press.
Farvar, M.T. & J. P. Milton, ed., 1973, The
Careless Technology. Ecology and Internasional Development. Tom Stacey
Natural History Press, New York
Goldsmith, E.,, 1973, Introduction. Dalam Soemarwoto,
Otto, 1999, Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan, Gajah Mada University Press.
Haryatmoko, 2008, Sekolah, Alat Reproduksi Kesenjangan
Sosial, dalam Basis, No. 07-08, Tahun
ke-57
Hermana, Budi, 2012, Alam Indonesia Memburuk, diakses 15
Agustus 2017 dari http://pena.gunadarma.ac.id/alam-indonesia-memburuk/
HMI Jogja Raya 2011, Buku Pedoman
Ekonomi Politik,
Jung, C.G. 2010. Ecological
Intelligence, diakses pada 18 Agustus 2017, dalam
http://jungianwork.worpress.com/ 20110/02/10on-alchemy-c-g-jung-and-ecological-intelligence.
Keraf, A. Sonny, 2010, Etika Lingkungan, Kompas: Jakarta,
Kleden, Ignas, 2005, Habitus: Iman da-lam Perspektif Cultural Product-ion dalam RP Andrianus Sunarko, OFM, dkk. (eds.) 2005, Bangkit dan Bergeraklah: Dokumentasi Hasil Sidang
Agung Gereja Katolik Indonesia, Jakarta:
Sekretariat SAGKI.
Kusumastuti, Ayu, 2015, Modal Sosial
dan Mekanisme Adaptasi Masyarakat Pedesaan dalam Pengelolaan dan Pembangunan
Insfrastruktur, MASYARAKAT: Jurnal
Sosiologi, , 20 (1).
Mutahir, Arizal, 2011, Intelektual
Kolektif Pierre Bourdieu, Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. (Terjemahan
Nurhadi) (2010). Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmoder, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Soemarwoto,
Otto, 1999, Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan, Gajah Mada University Press, 1999
Soemarwoto,
Otto, 2008, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan.
Sunarko, RP Andrianus,
OFM, dkk. (eds.) 2005, Bangkit dan Bergeraklah: Dokumentasi Hasil Sidang
Agung Gereja Katolik Indonesia, Jakarta:
Sekretariat SAGKI.
Suryadewi A, Edward, A Setiadi. 1998,.Masalah
Reklamasi Teluk Jakarta ditinjau dari Aspek Psikologi Lingkungan. Jurnal
Lingkungan dan Pembangunan, , Vol. 18 No. 2 .
Tim MKU PLH, Pendidikan
lingkungan hidup, ( semarang; uns, 2014)
Utina, Ramli, Kecerdasan Ekologis dalam Kearifan Lokal
Masyarakat Bajo Desa Torosiaje Provinsi Gorontalo, Prosiding Konferensi dan Seminar Nasional
Pusat Studi Lingkungan Hidup Indonesia ke 21 pada 13-15 September 2012 di
Mataram
Wahab, Oki Hajiansyah, 2013, Gerakan Aktif Tanpa
Kekerasan: Sebuah Transformasi Perjuangan Masyarakat (Kasus Masyarakat
Moro-Moro Register 45 Mesuji Lampung), Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, UGM: Yogyakarta, vol. 16, No 3.
Yale University,
Environment Performents Indexs of
Indonesia, diakses 15 Agustus 2017 dari
http://archive.epi.yale.edu/epi/country-profile/indonesia.
Lampiran
Indikator EPI of Yale University
EPI Indonesia
tahun 2016, Yale University
EPI Indonesia
tahun 2014, Yale University
[1]
Habitus sebagai gagasan, tidaklah dicip-takan sendiri oleh Bourdieu, namun
merupakan gagasan filosofis tradisional yang ia hidupkan kembali (Warquant, 1989; Ritzer dan Goodman, 2010:581. Dalam
tradisi filsafat, habitus diartikan sebagai kebiasaan yang sering disebut
dengan habitual yakni penampilan diri, yang menampak (appearance);
tata pembawaan terkait dengan kondisi tipikal tubuh seperti: cara kita makan,
berjalan, berbicara, dan bahkan dalam cara kita membuang ingus kita. Menurut
Aristoteles, habitus diartikan sebagai katagori yang melengkapi subjek sebagai
substansi. Tidak adanya kategori, tidak pula mengubah substansi. Katagori apakah
yang melekat pada substansi dan tidak ter-pisahkan? Menurut Aristoteles adalah
kualitas rasionalitas dan idealitas.
[2]
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. (Terjemahan Nurhadi) (2010). Teori
Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori
Sosial Postmoder, Yogyakarta: Kreasi Wacana. Hal 581
[3] Oki
Hajiansyah Wahab, Gerakan Aktif Tanpa
Kekerasan: Sebuah Transformasi Perjuangan Masyarakat (Kasus Masyarakat
Moro-Moro Register 45 Mesuji Lampung), Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
UGM: Yogyakarta, 2013, vol. 16, No 3, Hal. 228
[4]
Kleden, Ignas (2005) “Habitus: Iman da-lam Perspektif Cultural Product-ion”
dalam RP Andrianus Sunarko, OFM, dkk. (eds.) Bangkit dan Bergeraklah:
Dokumentasi Hasil Sidang Agung Gereja Katolik Indo-nesia 2005, Jakarta:
Sekretariat SAGKI. Hal 361-375
[5] Dalam Ritzer, George dan
Goodman, Douglas J. (Terjemahan Nurhadi) (2010). Teori Sosiologi: Dari Teori
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmoder, Yogyakarta:
Kreasi Wacana. Hal 582-590
yang dikutip oleh Muhammad Adib, Agen dan Struktur dalam
Pandangan Piere Bourdieu, hal BioKultur, Vol.I/No.2/Juli- Desember 2011, hal 102
[6] Dalam Ritzer, George dan
Goodman, Douglas J. (Terjemahan Nurhadi) (2010). Teori Sosiologi: Dari Teori
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmoder, Yogyakarta:
Kreasi Wacana. Hal 582
[7] Muhammad Adib, Agen dan Struktur dalam Pandangan Piere Bourdieu
[8]
Haryatmoko,Sekolah, Alat Reproduksi
Kesenjangan Sosial, dalam (Basis,
No. 07-08, Tahun ke-57,2008),
h. 16
[9]
Arizal Mutahir, Intelektual Kolektif
Pierre Bourdieu, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2011), h. 67.
[10] Ayu
Kusumastuti, Modal Sosial dan Mekanisme
Adaptasi Masyarakat Pedesaan dalam Pengelolaan dan Pembangunan Insfrastruktur,
MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 2015, 20 (1):81-97.
[11]
Jung, C.G. 2010. Ecological Intelligence, (tersedia dalam
http://jungianwork.worpress.com/
20110/02/10on-alchemy-c-g-jung-and-ecological-intelligence.
[12]Risda Amini
dan A. Munandar, “Pengaruh Model Pembelajaran Pendidikan Lingkungan
Berbasis Outdoor Terhadap
Penguasaan Konsep Pendidikan Lingkungan Bagi Calon Guru Sekolah Dasar” Jurnal
Penelitian Pendidikan, 2010, Vol. 11, No. 1 Hal. 14
[13]
Risda Hal 15
[14]
Risda hal 15
[15]
Maghfur ahmad, “Pendidikan Lingkungan Hidup Dan Masa Depan Ekologi
Manusia” forum tarbiyah, 2010, vol. 8 No. 1 hal. 58
[16]
Maghfur ahmad, “pendidikan lingkungan hidup dan masa depan ekologi
manusia” forum tarbiyah, 2010, vol. 8 No. 1 hal. 59
[17]
Tim MKU PLH, Pendidikan lingkungan hidup,
( semarang; uns, 2014) hal 3-4