Tulisan di upload di Kompasiana.com dapat dilihat di sini Komunitas Cangkir dan Ikhtiar Kota Kreatif
Membangun kota tidak lagi menjadi
tanggung jawab pemerintah, tetapi juga telah menjadi tanggung jawab
bersama. Kota tidak boleh memiliki jarak dengan kemanusiaan, membangun
kota jangan sampai juga membangun kesenjangan, melahirkan konflik dan
menjadikan warga kota justru terasing dengan lingkungannya sendiri.
Warga
kota harus secara kreatif mendorong dan melahirkan kota kreatif. Kota
yang dibangun oleh pemerintah dan seluruh warga, bahu membahu membangun
peradaban kota bersama. Kota kreatif yang dibangun bersama adalah
prototipe kota baru yang lahir atas gotong royong dan kebersamaan.
Bung
Hatta dalam Ekonomi Kerakyatan karya Revrisond Baswir, menyatakan bahwa
kharakter bangsa ini yang tak boleh terlupakan salah satunya semangat
gotong royong. Ini merupakan salah satu bagian bahwa kota kreatif harus
memilki bagian jiwa ke-Indonesia-an, yaitu gotong royong.
Meminjam istilah Ridwan Kamil, “your city is your responsbility” kota yang dibangun atas tanggung jawab bersama menjadi kunci awal untuk membangun creative city.
Sehingga gotong royong bukan hanya sekedar panggilan keterpaksaan
sosial. Melainkan keikhlasan dan kesadaran diri bergotong royong yang
menjadi ruh-nya.
Dengan kolaborasi tersebut kata kota itu akan
mendekati kenyataan. Namun melihat pemerintah dengan sistem saat ini
yang cukup nyaman dengan sistem lama. Maka merekalah yang harus
merespons terlebih dahulu dan memudakan kembali dirinya. Me-muda-kan
bukan berarti ditinjau dari segmen usia. Melainkan tertanam jiwa muda
yang selalu gelisah terhadap kenyamanan. Selalu mengupgrade dan berpandangan jauh kedepan merupakan bagian dari jiwa muda.
Berbicara
karya dan bukan kaya adalah bahan bakar atas ide dan gagasan.
Menghilangkan kata “untuk saya” diubah menjadi “untuk mereka” ialah
bentuk keharusan. Tanpa adanya itu kemustahilan kolaborasi dapat
tercapai. Dan kota kreatif jauh dari pandang.
Komunitas Kreatif
Di
Kota Metro, beberapa komunitas menanamkan sikap dengan atau tanpa
pemerintah, warga atau komunitas harus terus bergerak untuk membangun
kotanya. Karena mereka berhak dan bisa mengambil peran untuk mengatur
dan mengubah kota menjadi kota kreatif melalui komunitas-komunitas
kreatif. Komunitas-komunitas itulah yang kela menjadi motor penggerak
rekayasa kota.
Komunitas Cangkir kamisan misalnya, meski lahir
ditengah kota kecil, Kota Metro yang jauh dari pusat peradaban besar,
namun tak menyurutkan mimpinya terhadap perubahan kota. Kota yang
seharusnya dimiliki setiap warga didalamnya. Bukan hanya pemerintah,
tapi setiap warga berhak memiliki dan mengatur kotanya.
Gerakan yang dibangun komunitas ini bukanlah bentuk gerakan baru tapi paling tidak reborn
nya generasi baru untuk menafsirkan kota itu sendiri. Gerakan yang
termanifestasikan sebagai gerakan warga yang memgambarkan akan kemauan
hidup sebuah kota.
Diawali dengan diskusi setiap kamis malam di emperan
rumah, anak-anak muda berdialektika tentang kota. Kota yang ditempati
maupun disinggahi. Tidak melihat dari baju agama, usia, tambah lagi
dengan dari mana ia berasal. Melainkan mereka yang melihat kota ini
perlu obat untuk sakit nya sang kota. Rasa tanggung jawab akan tugas
warga kota itu lah yang merumuskan akan kemana arah jalan kota kedepan.
Diskusi
yang kini telah berjalan hingga ke seri 40-an lebih terus melahirkan
ide dan gagasan kreatif untuk kota. Misal, didahului dengan merangsang
keterlibatan warga dengan portal jurnalisme warga, www.pojoksamber.com
dan mendorong kembali budaya literasi.
Dengan begitu, komunitas
ini sudah meletakkan pondasi pembangunan kota atas dasar pengetahuan.
Serta memperluas jangkauan hasil buah pikir warga melalui portal
tersebut. Agar kebaikan yang tumbuh dapat disebarluarskan dan
ditularkan.
Seperti air mengalir, ada yang terhampar dicela-cela
batu. Singgah diantara-antara rerumputan, Ataumenggenang didalam kubang.
Tapi komunitas tidak memilih bagian tersebut.Melainkan sebaliknya,
mengalir terus tanpa berfikir untuk berhenti. Melawan kenyamanan dan menchallenge kebutuhan kota.
Gelisah
akan kenyamanan ini membuahkan hasil. Rumah Bersama didirikan dari
uluran tangan orang-orang baik. Tanpa proposal, tanpa meminta-minta,
tanpa banyak bicaraataupun semacamnya, iuran bersama-bersama akan cita
tentang rumah bersama yang menjadi basis gerakan dibangun diatas tanah
warga untuk menjadi tempat lahirnya ide-ide baru.
Dirumah ini pula terpusat jaringan wifi gratis
untuk warga. Sebagai bentuk edukasi akan pentingnya berjalan diatas
modernisasi teknologi. Munculnya Sai Wawai Publishing (SWP) dan Sai
Wawai Institute (SWI) yang bergerak di penerbitan buku dan lembaga
kajian dan riset warga, membangun Bank Sampah sebagai alternatif
pengelolaan sampah kota yang setiap hari semakin bertambah, memperkuat
sinyal cita-cita bersama mewujudkan kota kreatif.
Hasil-hasil
dari produksi komunitas itu dipakai sebagai bekal gerakan selanjutnya.
Misal, hasil dari penerbitan buku, kaos komunitas, hasil kreatif
pengelolaan sampah, ataupun “gerakan sedekah tong sampah” yaitu dengan
menjual tong sampah dengan harga dibawah pasar dan di tanam oleh
relawan-relawan disudut-sudut kota.
Sehingga komunitas ini
menjawab pula bagaimana kemandirian sebuah warga (komunitas) dibentuk,
agar mengurangitradisi lama yaitu ketergantungan terhadap negara
(pemerintah), danmengedukasi kemandirian wargaagar tak meluluharus tunduk dengan kekuasaan.
Oleh karna itu, wacana social enterpreneurship mulai dijalankan sebagai terobosan lifestyle baru untuk kota. Bersosial sekaligus berwirausaha juga dapat mengurangi mindset buruk
yang melekat di dunia pendidikan saat ini. Ditambah lagi,bisa
memperpanjang nafas komunitas dan menegaskan akan kemandirian
warga.Seperti yang terkandung dalam lirik lagu #SayangiMetro,“Sayangi lah kota ini jaga tetap alami, Sayangi lah kota ini,warga hidup mandiri”. Lagu yang merupakan bagian dari mengkampanyakan Gerakan #SayangiMetro dengan Gerakan Pungut Sampah(GPS) setiap minggu Car Free Day (CFD).
Secara
sadar atau tidak sadar, Komunitas ini telah menjawab tiga segmen dari
empat segmen yang di lontarkan oleh Ridwan Kamil, “sehebat-hebatnya
pemerintah, ia hanya membawa ¼ perubahan. ¼ lagi ada di bisnis. ¼ lagi
ada di pergerakan masyarakat seperti ormas dan komunitas. ¼ lagi ada di
media.”
Kedepanya cita-cita komunitas ini dengan pembuatan Portal Jurnalisme Warga, Rumah Bersama, wi fi
gratis dan Bank Sampah di setiap kelurahan, akan menginspirasi lahir
dan tumbuhnya komunitas-komunitas baru yang melibatkan lebih banyak
warga untuk mempercepat terwujudnya kota kreatif.
0 komentar :
Post a Comment