Pemuda, Pendidikan Dan ASEAN

Oleh Diyan Ahmad Saputra Stain Jurai Siwo Metro Lampung Sektor Pendidikan.
Tahun esok, tak terelakan Indonesia menjadi bagian negara yang terlibat dalam ASEAN Economic community. Sebagai anggota maka negara sudah seharusnya membutuhkan manusia (SDM) yang unggul secara kualitas dan kuantitas. Agar tak menjadi kuli dalam tanah sendiri. Dan pendidikan menjadi ujung tombak pertahanan yang tangguh.
Dengan adanya pendidikan akan mewujudkan bibit unggul guna bersaing dalam dunia nasional maupun global. Sebab, lewat pendidikan itulah manusia berkulitas akan menjadi tolak ukur kemajuan suatu bangsa. Dan sebaliknya manusia yang berilmu keterbelakangan menjadikan bangsanya terbelakang.
Menilisik lebih jauh, pendidikan menjadikan the only one power yang merekayasa manusia agar mampu bersaing dengan manusia-manusia bangsa lainya. Dalam tataran inilah perdaban bangsa indonesia dapat bergulat dan bersaing dalam AEC. Oleh karna itu, pemerintah harus sadar sebagai mana menjalankan tugas negara harus mampu mengali lebih dalam potensi sumber daya alam anak bangsa dan lebih dari itu harus mampu merekayasa SDM seiring berjalan.
Sadar akan peranan pendidikan sebagai penjaga sekaligus tameng entitas warga dalam wajah internasional. Menjadi bentuk kewajaran pendidikan sebagai prioritas rekayasa sosial bangsa. Relevansi ini menjadi elan vital yang harus dipertanggung jawabkan negara terhadap rakyat. Namun tak selesai dengan hasrat menyatarakan bangsa (Indonesia) di wajah asia. Pendidikan anak bangsa tak pelak persoalan kalsik tanpa adanya kepastian.  
Biaya pendidikan
Dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) dan UUD 1945 bahwa negara harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan
Dengan demikian tugas indonesia (pemerintah) tidak hanya pasif dengan mencari bongkahan intan (SDM) diatas daratan. Namun harus aktif mengali kedalam lapisan bumi terdalam. Sikap aktif negara inilah yang dibutuhkan untuk memberi ruang pendidikan bagi seluruh tanpa terkecuali bagi rakyatnya.
Namun, berlainan jalan dengan keinginan negara merekayasa manusia berkualitas. Justru problematika pendidikan tidak dijadikan sebagai prioritas. Terlihat dengan peraturan yang diberlakukan terkait uang kuliah tunggal (PERMENDIKBUD  No 25 Th 2013). Pendidikan masih tergolong tinggi hanya sekedar berganti baju dengan aturan lama. Tak ada harga murah bagi pendidikan di Indonesia, bahkan lebih parahnya standarisasi yang diberikan untuk masyarakat miskin 5 %. Dan ironis memang melihat sistem yang tak pro terhadap rakyat.
Sistem UKT yang dilaksanakan saat ini, tak sama sekali merubah tingginya biaya pendidikan. Bagaimana rakayat miskin menengah dapat menenyam pendidikan yang layak jika masih tak revolusi dalam tubuh pendidikan bangsa ini. Seolah semakin tinggi strata instansi pendidikan maka sepadan dengan kucuran dana yang harus dibiayakan. UGM, ITB, UI salah satu contoh sebagai contoh ideal sekolah anak pejabat.
Anggapan buku sebagai jendala mungkin saja benar. Bahkan seperti yang digambarkan Tan Malaka, Bung Hatta pun membawa berpeti-peti buku walau dalam pengasingan (Tan Malaka, 1974 : hal 25-36). Seperti itulah pentingya sahabat (buku) bagi pengelana sains. Namun hanya angin surga buat anak-anak desa yang mengenyamnya. Pendidikan yang mahal diimbangi sumber pengetahuan (buku) yang sulit dijangkau oleh kaum proletar.
ilusi Negara (pemerintah) ynag Mengharapkan perbaikan namun tak setara dengan usaha. Negara tak mampu mencontoh bangsa lain sebut saja Finlandia, jerman, jepang yang merupakan icon negara yang mencontohkan pendidikan gratis dan buku yang murah sebagai wujud martabat bangsanya.
Pendidikan sekuler
Pendidikan sekuler yang merupakan tonggak kristenisasi mulai mensisipi kedalam semua bangsa. Berawal dari misi bangsa barat (Kristen) untuk mencoba mengaburkan pemahaman dan kepercayaan masyarakat khususnya muslim. Sekulerisme yang diajarkan bagaimana memisahkan agama dengan dunia. Seolah tak ada relevansi antara keduanya dan menganggap agama tersebut menghambat modernisasi. Sedangkan agama sebagai alat kontrol kemanusian bahkan terhadap sesama makhluk.
Sehingga pendidikan saat ini menghasilkan produk manusia yang acuh terhadap kemanusiaan dan lingkungan. Tak sedikit pejabat yang korup dan hasil bumi yang dikeruk tanpa adanya melihat dampak yang dihasilkan (contoh kasus lapindo).
Kekerasan dalam dunia pendidikan.
Kekerasan di dunia pendidikan menolak akan adanya hakikat pendidikan sebagai pembebasan. Pelestarian kekerasan di dunia pendidikan meluas tidak hanya bertujuan untuk mendidik, tetapi acap kali digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Melirik konsep kekuasaan dalam pemikiran  michael faucoult “cinta sang tuan” bahwa sang tuan bebas melakukan seonsor dan memberikan larangan kepada bawahanya (Agus Hilman, 2013: 78). Konsep kekuasaan ini dianggap relevan jika disandingkan dalam konteks pranata sosial setiap intitusi penddikan yang masih erat kaitanya  dengan sistem stratifikasi atas-bawah. Layaknya sistem komando militer yang tanpa celah untuk dkritik terlebih lagi noda kesalahan, tak ada penentangan didalamnya. Seorang guru/dosen diletakkan sebagai sumber segala ilmu pengetahuan dan murid/siswa dijadikan bejana kosong yang tak memiliki daya ruang dan  gerak berekspresi serta harus diisi. Seolah guru/dosen merupakan pena dalam mengisi  tabula rasa murid yang wajib tanpa adanya penolakan. Paradigma seperti itu menjadikan guru/dosen pada strata atas dan murid sebaliknya. Kemudian dari mana murid akan menjadi mandiri dengan otak nya yang terus diinterfensi oleh guru. Secara tidak langsung murid akan menjadi sosok pengganda dari seorang guru yang mengajarnya. Saat itulah daya inovatif dan kreatifitas murid akan terhenti pada saat itu juga.
Rotasi diri dari seorang guru sebagai sang tuan terhadap murid secara terus menerus akan berlangsung kekal. Saat itu lah Proses berhentinya pengetahuan berlangsung. konsekuensinya negara yang masih menganut pendidikan sang tuan dengan sendiri tertinggal oleh bangsa lain.
Apa yang harus dilakukan putra bangsa ?
Dengan adanya bentuk kemunduran pendidikan yang sedang terjadi maka perlunya rekayasa sosial untuk merubah tatanan struktural yang ada. Suatu kebohongan pula merubah paradigma penddikan yang mengidap tanpa adanya praksis yang merupakan suatu refleksi dan tindakan yang merupakan manuggal karsa, kata dan karya (Paolo Freire 2007 : hal xiii - xiv). Sehingga perlu adanya rekayasa pendidikan yang seimbang antara Refleksi (berfikir) dan tindakan.
Pertama, kebangkitan nasional termasuk sektor pendidikan tidak akan pernah muncul dari kedalaman lautan tanpa adanya suatu bentuk pengorbanan individu (revolusioner). Meminjam istilah ali sariati perlu ada nya nabi-nabi sosial., yaitu kaum rausyan fikr yaitu orang-orang yang tercerahkan. Orang-orang yang mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kesadaran dan memberi arah intelektual dan sosial kepada massa/rakyat (Ali Sariati:1995, hal 28). Dengan kata lain tanpa adanya kesadaran diri untuk bertanggung jawab merubah suatu sistem termasuk pendidikan maka hanya sebagai bunga mimpi yang tak akan pernah terjadi. Hanya kesadaran diri yang dapat merubah rakyat yang statis dan menjadi kekuatan yang dinamis dan kreatif.
Kedua, sekulerisasi pendidikan. Pendidikan sejatinya diperuntukkan untuk menciptakan manusia untuk meningkatkan daya kreativitas agar bisa menegakkan kesejathteraan manusia. Dalam bahasasa freire, pendidikan diperuntukan untuk memanusiakan manusia. Di dalam usaha untuk memanusiakan manusia, pendidikan harus bergerak pada visi membebaskan. Membebaskan artinya senantiasa memberikan ruang kritik dan dan tanda tanya dalam setiap ilmu yang diperlajari, tidak lantas menutup ruang  kritis secara absolut. Doktrin-doktrin kepatuhan tanpa ada ruang kritik hanya memunculkan kesadaran-kesadaran magis dan naif. Guru bukan tuhan yang selalu benar, dan murid juga bukan keledai yang mudah ditarik semau guru. Corak pendidikan demikian tidak menjadikan manusia menjadi manusia yang sesungguhnya, melainkan seperti robot karna otaknya dilumpuhkan oleh sistem yang absolut (tanpa ruang kritik) (Agus Hilman, 2013 :76). Proses demitologisasi guru sebagai cahaya tuhan yang selalu benar ini yang disebutkan Robbert N Bellah sebagai sekulerisasi (Nurcholis Madjid, 2000 : xxviii). Demikian pula yang diasumsikan tan malaka, cara berfikir yang benar harus terbebas dari segala mitologi yang dapat menyesatkan pemikiran (Tan Malaka, 1974:hal 25-36). Maka dengan seperti itu pengetahuan-pengetahuan baru akan muncul dari dari proses penddikan.
Ketiga, selanjutnya pendidik haruslah memiliki jiwa yang mengandung cinta, kerendahan hati dan keyakinan (Paolo Freire, 2011 :78-82 ). Tak ada jiwa kepedulian tanpa adanya rasa empati guru keada murid ataupun murid terhadap guru, dengan adanya perasaan cinta tersebut dialog akan tumbuh. Kemudian, antara pendidik-murid haruslah terbentuk saling menghargai. Keyakinan yang mendalam terhadap diri manusia, keyakinan pada kemampuan manusia mebuat dan mebuat kembali, untuk mencipta dan mencipta kembali akan menumbuhkan kreatifitas dan inovosi dalam setiap murid.
Selanjutnya, menjadi elan vital guru membentuk kaderisasi pendidikan. Artinya proses pendidikan yang memanusiakan manusia tidak hanya berhenti pada fase tertentu. Namun harus memiliki keberlanjutan secara komprehensif. Guru harus mampu menumbuhkan kaum intelegensia yang bertanggung dan dengan sadar diri terlibat kedalamnya (Soe Hok Gie, 2012: hal 72).
Saat ini tak banyak instansi pendidikan yang menerapkan pola pendidikan penyadaran seperti ini. Terkadang kaderisasi yang muncul hanya sebatas fase tertentu. Namun masih terdapat instansi pendidikan yang mampu menerjemahkan pendidikan di permukaan bumi sebagai proses penyadaran akan entititas yang memanusiakan manusia. Organisasi kemahasiswaan seperti HMI menjadi lembaga pendidikan ideal sebagai praktek pembebasan (berdasarkan pengalaman penulis).
Wallahualam bis showab.


Daftar Pustaka.

Freire, Paolo (2011). Pendidikan Kaum Tertindas.Jakarta : LP3ES
___________(2007). Politik Pendidikan. Jakarta : LP3ES
Hilman, Agus (2013). Indonesia Pasca Negara. Jawa Barat : Linkar Publishing
Madjid, Nurcholis (2000). Islam Doktrin Peradaban. Jakarta :yayasan wakaf paramadina
Malaka, Tan  (1974). Madilog. Jakarta. LPPM Tan Malaka
Gie, Soe Hok (2012). Catatan Seorang Demonstran. Jakarta : LP3ES

Sariatati, Ali (1995).

0 komentar :